Quantcast
Channel: Emotional Flutter
Viewing all articles
Browse latest Browse all 172

Hadiah Dari Inacio

$
0
0

Shijiazhuang, China, 2012

Semester pertama waktu gua kuliah di Shijiazhuang adalah semester yang paling tidak terlupakan sepanjang gua kuliah di China. Waktu itu kelas gua isinya hanya enam orang : empat orang Indonesia (termasuk gua), satu orang Polandia, dan satu orang Peru. Meskipun orang asingnya gak banyak, tapi itu pertama kalinya gua merasakan bagaimana rasanya kuliah bareng orang asing. Si Poland dan si Peru ini Bahasa Inggrisnya gak gitu bagus, tapi masih oke lah, kita masih bisa saling komunikasi. Maklum, sesama anak muda.

Suatu hari, setelah kuliah berjalan kira-kira satu bulan, kelas kita kedatangan seorang murid baru dari Brazil. Om-Om berumur 40 tahun plus plus bernama Inacio (bukan nama sebenarnya), badannya besar dan kepalanya botak. Nah Inacio ini orangnya aktif banget, nyaris setiap pelajaran dia selalu bertanya. Masalahnya adalah, Bahasa Inggris dia tuh kental banget aksennya, ditambah lagi ngomongnya gak gitu lancar. Jadi jangankan Laoshinya, kita-kita yang Bahasa Inggrisnya bisa dibilang lebih bagus daripada Laoshi nya pun gak ngerti si Inacio ini nanya apa. Dan gak mungkin juga kita komunikasi pake Mandarin, karena Mandarin kita masih selevel balita yang baru belajar ngomong.

Jadinya ya nyaris di setiap mata kuliah, kelas kita menghabiskan waktu 5-10 menit untuk menebak-nebak Inacio ini sebenernya mau nanya apa. Akibatnya, anak-anak di kelas kita banyak yang ga suka sama si Inacio ini. Apalagi umurnya pun berbeda jauh dengan kita, jadi ngobrol tuh gak gitu nyambung.

Suatu hari, seusai kuliah, Inacio tiba-tiba nyamperin gua dan ngajak gua ngomong. Awalnya gua bener-bener gak ngerti dia ngomong apa, tapi ya setelah mendengarkan secara seksama akhirnya gua nangkep maksud dia. Intinya dia pengen beli barang-barang keperluan kuliah, tapi gak tahu beli di mana. Waktu itu gua sebenernya agak males mau nolongin dia, tapi kemudian gua teringat minggu-minggu pertama gua di China di mana gua belum bisa Mandarin dan gak tahu ini itu. Waktu itu gua tertolong karena sering diajak pergi bareng sama temen-temen gua yang Mandarinnya udah lebih bagus daripada gua. Akhirnya gua menawarkan diri untuk nganterin Inacio pergi ke pasar nyari barang-barang yang dia butuhkan, dan dia seneng banget.

Di luar dugaan, ternyata si Inacio ini orangnya asik juga. Dia seneng bercanda dan juga tertawa. Ternyata meskipun kita tidak mampu memahami setiap kata yang seseorang ucapkan, dengan memperhatikan baik-baik raut wajah dan gestur tubuhnya baik-baik, kita bisa saling mengerti. Mungkin ini dia yang namanya Bahasa Tarzan. Dengan Bahasa Inggris seadanya dan Bahasa Mandarin yang sangat terbatas dicampur aduk dengan bahasa tubuh, hari itu gua dan Inacio ngobrol tentang banyak hal. Ternyata dia kerja sebagai desainer grafis di negaranya. Dia juga udah cerai sama istrinya dan dua orang anaknya ikut sama sang istri, jadi sekarang dia hidup seorang diri.

Kurang lebih kayak gini tampangnya Inacio

Seiring berjalannya waktu, gua semakin jarang main bareng temen-temen Indonesia. Gua lebih banyak jalan bareng roomate gua yang orang Ukraina, si Peru temen sekelas gua, orang Moldovia roommatenya si Peru, dan juga Inacio. Kita berlima hampir setiap hari selalu makan siang dan makan malem bareng-bareng.

Sampai suatu hari, kurang lebih dua bulan semenjak kita kuliah bareng, Inacio untuk pertama kalinya datang berkunjung ke kamar gua. Gua pikir dia mau minta film atau apa, tapi ternyata dia malah bilang gini ke gua : "Minggu depan, aku akan pulang ke Brazil."
Perasaan gua campur aduk antara kaget, dan juga sedih.
"Kok cepet banget?" tanya gua, masih setengah gak percaya.
"Iya, tadinya aku mau satu semester di sini. Tapi ternyata ada proyek yang harus dikerjain." jawab Inacio.

Tapi ternyata kepulangan Inacio tidak selancar yang dia rencanakan. Tiket pulang yang sudah dia book sebelumnya ternyata berangkat dari Beijing, bukan dari Shijiazhuang. Dari Shijiazhuang ke Beijing kira-kira butuh waktu 4 jam naik kereta api (karena waktu itu belum ada kereta express dari Shijiazhuang ke Beijing seperti saat ini). H-7 sebelum berangkat, Inacio minta gua nemenin dia beli tiket kereta api. Gua udah pernah naek kereta api satu kali waktu liburan Golden Week ke Xi'an, sementara Inacio belum pernah. Sewaktu tiba di stasiun, wajah Inacio langsung pucat. Dia bilang dia agak stress, membayangkan dirinya harus naik kereta sendirian dari Shijiazhuang ke Beijing.

Ya, gua ngerti sih maksud dia. Terbayang di otak gua, Inacio yang Bahasa Mandarinnya jauh dari lancar, sedang gotong-gotong dua koper besar, sendirian di stasiun sambil kebingungan mencari gate yang harus dituju, mendadak hati gua tergerak. Gua pergi beli tiket ke loket, sementara Inacio duduk menunggu gua, wajahnya agak pucat sambil celingak-celinguk, mungkin dia mencoba menghafal rute yang harus ditempuh nanti. Begitu gua kembali, Inacio terkejut melihat di tangan gua ada tiga lembar tiket.

"Itu...kok tiketnya ada tiga lembar?" tanya Inacio bingung.
"Oh, ini yang satu lembar tiket one way kamu ke Beijing," kata gua. "Dan dua lembar sisanya, tiket PP Shijiazhuang-Beijing untuk aku."
"Kamu...ngapain ke Beijing?"
Inacio tampaknya masih belum mengerti maksud gua.
"I'm coming with you, dummy" jawab gua.
Begitu mengerti maksud gua, Inacio langsung memeluk gua erat-erat sampe gua susah nafas. Jujur, ini pertama kalinya gua dipeluk sama cowo, yang badannya jauh lebih gede dan kekar daripada gua. Tapi gua gak akan pernah pelukan itu, karena itu adalah ungkapan hati paling tulus dari seorang Inacio.

Rasanya kayak gini, kurang lebih

Sialnya, karena gua terlalu spontan beli tiket PP Beijing-Shijiazhuang, gua tidak memperhitungkan bahwa sisa uang beasiswa yang tersisa di account bank gua hanya tinggal 200 RMB (400 ribu rupiah), sementara masih ada 2 minggu sebelum uang beasiswa berikutnya turun. Jadi selama seminggu setelahnya gua terpaksa hidup super duper hemat.

Hari keberangkatan Inacio pun tiba. Sesuai dugaan gua, barang dia ada dua koper besar. Gua bantuin dia angkat koper sambil menerobos kerumunan orang, mencari gate keberangkatan kita. (Waktu itu kita berangkatnya masih dari stasiun Shijiazhuang lama, gedungnya kecil dan sumpek, tidak seperti stasiun baru saat ini yang gedungnya sebesar airport)

Stasiun lama di China, sumpeknya kira-kira kayak gini


Setelah berenang di lautan manusia sambil bawa koper, akhirnya gua dan Inacio berhasil masuk ke kereta dan menemukan tempat duduk kami. Sepanjang jalan kita ngobrol banyak sekali. Sungguh gak terbayang akan ada hari di mana gua bisa ngobrol sebanyak ini dengan Inacio, mengingat sewaktu dia baru awal-awal datang, sangat sulit sekali untuk bisa berkomunikasi dengan dia.

Sesampainya di stasiun kereta api Beijing, gua bergegas mencari tempat keberangkatan shuttle bus ke airport yang letaknya tidak jauh dari sana. Ternyata masih ada waktu setengah jam sebelum shuttle bus nya berangkat. Setelah selesai memasukkan koper di bus, gua dan Inacio istirahat di sebuah bangku kayu di sebelah shuttle bus tersebut.

Kita berdua tidak banyak bicara, hanya menikmati keberadaan satu sama lain di ambang perpisahan ini. Di tengah kesunyian tersebut, Inacio tiba-tiba bertanya kepada gua :

"If you could wish for one thing right now, what will you wish for?" 
(Kalau kamu bisa mengajukan sebuah permintaan saat ini, apa yang kamu inginkan?) 

Gua terdiam sebentar. Sebenarnya di hati gua, gua pengen jawab : Aku gak pengen kamu pulang ke Brazil. Tapi gua tau bahwa itu gak mungkin, dan hanya bakal bikin kita berdua tambah sedih. Jadinya gua jawab :

"I'd wish that we could meet again someday"
(Aku akan meminta supaya kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti)

Inacio tersenyum, dan menjawab.
"If it's me, I'd wish that we'd never forget this moment"
(Kalau aku, aku akan meminta supaya aku tidak akan pernah melupakan momen ini)

Beberapa menit kemudian, sekonyong-konyong ada butiran putih yang jatuh di atas hidung gua. Sebutir, dua butir. Rasanya dingin. Gua pikir itu hanya tetesan air. Tapi tidak lama kemudian, butiran-butiran putih lain jatuh bagaikan hujan. SALJU! Sebagai orang Indonesia yang hidup di negara tropis, ini pertama kalinya gua liat salju. Gua menoleh ke arah Inacio, dia juga tampak terkejut melihat hujan salju yang mengguyur Beijing tiba-tiba ini.

"Keven, ini pertama kalinya aku melihat salju" kata Inacio tiba-tiba.

"Seriusan???" tanya gua kaget, seolah tidak percaya.

"Iyaaa! Di kota tempat aku tinggal, gak pernah turun salju. Ini pertama kalinya aku diguyur hujan salju!" kata Inacio, sambil mencoba menadah butiran-butiran tersebut dengan tangannya.

"Aku juga! Ini pertama kalinya aku lihat salju!" jawab gua sambil mencoba melakukan hal yang sama.

Hari itu hujan saljunya memang tidak lebat, hanya berupa butiran-butiran kecil sebesar ketombe, tapi buat gua dan Inacio, hari itu adalah pertama kalinya kita berdua melihat salju. Dan ya, momen itu, tidak akan pernah gua lupakan.

Setengah jam kemudian Inacio pergi naik shuttle bus ke bandara, dan di tengah hujan salju itu, gua berdiri di tepi jalan menyaksikan bus yang Inacio naiki perlahan-lahan menghilang dari pandangan.




Beberapa jam setelah itu, gua sedang duduk sendirian di stasiun Beijing, menunggu jam keberangkatan kereta gua. Gua laper banget dan kedinginan, tapi uang di dompet gua tinggal 100 rmb, dan itu harus cukup untuk 7 hari ke depan, jadinya gua menahan diri, hanya minum air hangat saja dari dispenser gratis di stasiun.

Tak lama kemudian, ada sms yang masuk ke HP gua, dari Inacio. Isinya :

"I'm boarding now. See you when I see you.
PS : Check the inside of your backpack, I left you a gift."

(Aku sudah naik ke pesawat. Sampai ketemu di lain kesempatan.
PS : Cek isi ransel, aku tinggalin hadiah untuk kamu.)

Gua kaget, dan langsung aja gua buka ransel gua. Di dalamnya ada sebuah notes kecil. Waktu gua buka, isinya uang 1000 RMB dan sebuah surat dari Inacio.

"Those who are happiest are those who do the most for others. This is what I learned from you, my friend. And whenever I see someone in need, I will help them, just like what you do for me.
PS : Don't need these anymore, please help me spend it."

(Orang yang paling bahagia adalah mereka yang rela melakukan yang terbaik bagi sesamanya. Ini yang aku pelajari darimu, sahabatku. Dan kalau aku menemukan orang yang kesusahan, aku akan membantu mereka, seperti apa yang telah kamu lakukan untuk aku.
PS : Aku udah gak butuh uang-uang ini, tolong bantu aku habiskan. )

Hari itu, Inacio meninggalkan sebuah hadiah yang sangat berharga bagi gua. Bukan uang, tetapi sebuah kesadaran bahwa ternyata kebaikan yang kita tanam, juga dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan.



Nanning, China, 2018

Di lorong kampus, gua berkenalan dengan Vincent, seorang bule dari Spanyol, yang baru tiga hari menjadi dosen di kampus yang sama dengan tempat gua mengajar. Sore harinya, gua dan cewe gua pergi mengantar Vincent ke Wallmart yang jaraknya 1 jam perjalanan dari kampus gua. Maklum, kampus gua ini letaknya di ujung kota Nanning, dekat perbatasan Vietnam, jauh dari hingar-bingar kehidupan di kota Nanning.

Beberapa jam kemudian, kita bertiga pun sampai di kampus, setelah menghabiskan waktu lebih dari 1 jam berdesak-desakan di dalam bus selama perjalanan pulang. Vincent pamit kepada gua dan cewe gua, lalu pulang ke apartemennya. Di perjalanan pulang menuju apartemen gua, cewe gua manyun dan ngomel ke gua.



"Kamu itu terlalu baik. Udah tau kampus kita jauh, ehh masih nganter-nganterin orang ke supermarket segala. Udah itu makan malamnya masih kamu traktir pula. Apa untungnya buat kamu? Kadang aku bingung, kamu ini entah bodoh atau baik." kata cewe gua.

"Ada untungnya kok buat aku" jawab gua.

"Apa untungnya? Habis waktu, habis uang?" tanya cewe gua lagi.

"Kamu percaya gak sama yang namanya karma?" tanya gua.

"Nggak. Karena aku udah pernah baik sama orang, ehhh ujung-ujungnya aku malah ditusuk sama dia dari belakang" jawab cewe gua lagi.

"Nah itu dia salahnya." jawab gua. "Memang katanya kebaikan akan berbuah kebaikan, dan keburukan akan berbuah keburukan. Tapi inget, kita bukan berbuat baik demi mendapatkan imbalan yang setimpal. Kita baik sama orang lain, bukan karena berharap orang itu juga akan baik kepada kita."

"Lalu?"

"Kita berbuat kebaikan semata-mata hanya karena kita ingin berbuat baik. Kalau kebaikan kita menyentuh hati orang yang kita bantu tersebut, maka orang itu akan juga akan terinspirasi untuk berbuat baik bagi orang-orang di sekitarnya. Dan orang yang mereka bantu itu, akan juga berbuat baik bagi sesamanya. Dan begitu terus selanjutnya. Setidaknya, itu yang aku harapkan.

Contoh simpelnya gini deh. Kita kan hidup jauh di perantauan, jauh dari orang tua. Tentunya kita juga berharap bahwa pada saat mereka butuh bantuan dan kita gak ada di samping mereka, akan ada orang yang mau membantu orang tua kita. Nah itulah yang sedang aku lakukan. Aku berbuat baik bukan semata-mata demi diri sendiri. Biarkan kebaikan yang kita tanam, diteruskan bagi orang lain yang juga membutuhkan. Siapa tahu, suatu hari, pada saat dibutuhkan, kebaikan itu, akan datang kembali bagi diri kita atau bagi orang-orang yang kita kasihi."

Cewe gua tersenyum dan mengangguk-angguk, tanda setuju. Gua rangkul dia dan cium pipinya. Sambil berjalan melewati taman-taman di dekat apartemen gua, tiba-tiba gua teringat akan seseorang.

"Btw, aku punya cerita untuk kamu, sayang. Tentang seorang sahabat dari Brazil bernama Inacio..."


Sekian dulu ya postingan kali ini. 

Melalui tulisan kali ini juga, saya mau berterima kasih kepada teman-teman pembaca sekalian yang sudah 8 tahun ini terus setia mengikuti blog Emotional Flutter ini. Selama 8 tahun ini, udah gak terhitung berapa banyak jumlah teman-teman pembaca yang kirim pesan ke saya baik lewat socmed maupun email hanya untuk mengatakan bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi mereka. Terima kasih banyak untuk semua apresiasinya, maaf kalau mungkin ada pesan yang belum dibalas. Kalian adalah sumber inspirasi saya dalam menulis. Tanpa kalian, tidak akan ada blog ini. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Jangan lupa komentar, saran, atau kritiknya ya. Silakan share artikel ini apabila kalian merasa bahwa ada teman/saudara yang dapat terinspirasi lewat tulisan ini.

Sampai ketemu di postingan berikutnya.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 172

Trending Articles