Sewaktu gua kecil, hari libur yang paling gua tunggu-tunggu adalah Natal dan Lebaran. Natal, karena gua adalah salah seorang anak yang percaya pada Sinterklas, dan Lebaran, karena gua adalah penggemar hardcore Kolak Pisang.
Sementara Paskah? Not so much.
Di otak seorang Keven yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar, Paskah itu identik dengan :
1. Telur
Waktu SD, gua sekolah di sekolah Katolik, jadi setiap Paskah, sekolah pasti akan mengadakan acara-acara seperti lomba menghias telur dan lomba mencari telur. Buat gua yang waktu itu paling benci pelajaran Prakarya, kegiatan menghias telur di bawah iming-iming lomba itu terasa lebih seperti beban daripada kegiatan yang menyenangkan. Dan lomba mencari telur? Gua, dengan postur yang memang sudah agak besar sedari kecil, selalu kalah gesit dengan anak-anak SD lain yang berbadan cungkring. "Biarlah mereka-mereka yang badannya kayak korek api itu yang dapat telur banyak, dari badannya aja mereka lebih butuh gizi daripada gua". Itulah cara gua menghibur diri sendiri setiap kali gagal memenangkan lomba mencari telur.
2. Ke gereja 4 hari berturut-turut
Bagi gua, libur Paskah tidak begitu terasa seperti sebuah "liburan". Berbeda dengan libur Natal dan Tahun Baru di mana gua bisa bebas main game dan nonton setiap hari, selama minggu Paskah, gua bakal dipaksa bokap untuk pergi ke gereja selama 4 hari berturut-turut : Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah. Padahal pada saat liburan panjang, stasiun TV akan banyak menayangkan film dan anime-anime bagus. Dan setiap hari Minggu, gua udah punya jadwal tontonan tetap mulai jam setengah 7 pagi sampai jam 11 siang. Dan gak tau kenapa, bokap hobi banget ke gereja jam 10 pagi. Kenapa gak ikut kebaktian yang sore aja? Jadi ya, tiap kali ke gereja, gua selalu pergi dengan hati dongkol karena terpaksa melewatkan episode Dragon Ball atau Magic Knight Rayearth di TV.
3. Berkabung
Salah satu alasan kenapa gua males pergi ke gereja pada saat Paskah adalah...karena suasananya suram banget. Berbeda dengan suasana Natal yang meriah, suasana gereja Katolik di masa Paskah itu lebih mirip suasana berkabung. Lagu-lagunya sendu, bacaannya panjang dan dinyanyikan dengan nada-nada yang super datar, dan selama mereka menyanyi, kita harus berlutut dan nunduuuuuk terus.
Gua inget, waktu SD, gua pernah nanya gini ke Papa gua :
Gua : Pa, Paskah sebenernya merayakan apa sih?
Papa : Paskah itu merayakan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus.
Gua : Kalo merayakan kematian, harusnya jangan pake istilah "merayakan" donk. Masa orang meninggal dirayain?
Papa : Kan Yesus bangkit pada hari ketiga, gak mati selamanya
Gua : Yesus kenapa rela mati di salib, Pa?
Papa : Demi menebus dosa-dosa kita.
Gua : Waktu Yesus disalib, aku kan belum lahir?
Papa : Errr...
Gua : Lahir aja belum, gimana mau berbuat dosa?
Papa : Ya...itu...ehmmm...
Gua : Lagian aku kan gak minta Yesus menebus dosa aku? Kok sekarang aku harus ikut-ikutan berkabung?
Papa : Nanti kamu tanya semua ini ke Mama aja ya, biar Mama yang jelasin
Jadi itulah Paskah di mata gua sewaktu SD. Sebuah "perayaan" untuk "merayakan" seseorang di jaman dahulu kala, yang rela mati disalib demi menebus dosa-dosa kita tanpa kita minta, di mana sebagai timbal baliknya, kita harus rela ke gereja 4 hari berturut-turut untuk berkabung dan juga ikutan aneka permainan konyol yang berhubungan dengan telur.
![]() |
Waktu kecil, gua merasa bahwa Paskah identik dengan lomba mencari telur dan menghias telur |
Seiring dengan bertambahnya umur gua, gua pelan-pelan mulai belajar agama lebih dalam dan juga mengenal apa sih pentingnya merayakan Paskah. Gua juga rutin ke gereja merayakan Paskah setiap tahunnya dengan rasa terpaksa yang sudah sedikit berkurang, karena semenjak SMP dan SMA gua pergi ke gerejanya udah bukan bareng keluarga, tapi bareng temen. Sepulang dari gereja, kita suka pergi makan dan nongkrong bareng rame-rame. Jadi ya lumayan deh, ada rewardnya.
Tapi meskipun demikian, Paskah tetap bukan liburan favorit gua. Gua juga masih belum paham artinya. Gua rutin merayakan setiap tahun, karena ya, itu sudah menjadi semacam tradisi saja.
Tapi semuanya berubah di tahun 2005.
Waktu itu, gua kelas 2 SMA, dan beberapa bulan sebelumnya, gua baru putus sama Lina, pacar gua semasa SMA.
Buat yang udah sering baca blog ini, tentu kalian udah gak asing dengan kisah cinta gua di masa SMP dan SMA. Gua pertama kali pacaran waktu SMP dan hubungan gua kandas prematur (cuma 1 bulan ) karena gua dibackstab sama sahabat sendiri. Karena itu, waktu gua pacaran sama Lina di SMA, gua berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seorang kekasih terbaik. Segala hal yang gak sempet gua lakukan untuk pacar pertama gua, gua lakukan semuanya untuk Lina. Wah pokoknya waktu itu gua udah berusaha untuk jadi super romantis dan super pengertian.
Tapi gak peduli seberapa kerasnya gua berusaha, hubungan gua dan Lina tetap kandas juga. Kita cuma berhasil bertahan selama 1 tahun lebih 1 bulan. Putusnya juga bukan putus baik-baik. Apalagi Lina kemudian jadian sama cowo laen hanya beberapa bulan setelah putus sama gua. Rasa bersalah, sedih, kecewa, marah, dan menyesal bercampur aduk menjadi semacam kebencian terhadap diri sendiri. Pokoknya waktu itu hati gua bener-bener hancur, sehancur-hancurnya.
Ditambah lagi waktu itu keadaan keluarga gua sedang tidak bagus. Bisnis bokap mengalami kemunduran, kemudian bokap dan nyokap hubungannya jadi renggang dan sering berantem. Gua stress liatnya.
![]() |
Quotes dari film Koala Kumal |
Anyway, waktu itu Paskah tahun 2005, sore hari, dan gua sedang ikut ibadah Jumat Agung bersama seorang sahabat baik gua. Selama pacaran sama Lina, pergi ke gereja setiap hari Minggu sudah menjadi acara rutin bagi kita. Jadi hari itu, gua sama sekali gak fokus sama materi ibadahnya. Di kepala gua terus muncul bayangan waktu gua duduk bareng Lina di gereja. Senyumnya, suaranya, terus terngiang-ngiang di otak gua. Gua menghela nafas panjang berkali-kali, dan kemudian gua nangis. Jadi ya rasa sedih karena putus cinta ditambah rasa sedih melihat keluarga gua berantakan itu berakumulasi menjadi butir-butir air mata yang keluar dari mata gua tanpa terbendung itu.
Untungnya waktu itu gua duduk di barisan agak belakang, jadi di samping gua tidak begitu banyak orang. Kalaupun ada orang yang liat gua nangis, mereka mungkin mikirnya gua nangis karena gua terharu sama kisah sengsara Yesus yang sedang dinyanyikan. Tapi sahabat gua itu tau, gua nangis karena gua stress, kepikiran soal Lina.
"Ven, banyak orang yang bilang bahwa hidup kita itu mirip sebuah permainan game," kata sahabat gua itu sambil memberikan gua tissue untuk menyeka air mata. "Nah, kalau hidup ini diumpamakan sebagai permainan game, maka Yesus, sebagai anak Allah, adalah anak CEO perusahaan gamenya donk, bener gak?"
Gua bengong denger pertanyaan dia. Ini orang ngomongin apa sih? Yesus adalah anak CEO perusahaan game?
"Err...terus? Maksud lu?" tanya gua, sambil setengah bengong.
"Iya, kalau hidup kita adalah sebuah game yang diciptakan oleh Allah, maka Yesus adalah anaknya Allah, alias anaknya CEO perusahaan gamenya donk?"
"Oke...terus, maksud lu apa?"
"Yesus meninggal di kayu salib. Jadi istilahnya, meskipun dia anak CEO perusahaan gamenya, dia pun masih bisa game over pada saat bermain game."
Gua makin bingung denger ocehan sahabat gua ini.
"Terus, intinya, lu mau ngomong apa sih?" tanya gua, bingung.
"Ya itu dia. Kalau ada satu pelajaran yang bisa gua tarik dari perayaan Paskah ini adalah...ternyata siapapun bisa kalah di dalam hidup. Tidak terkecuali Yesus yang katanya adalah anak Allah, pencipta langit dan bumi. Yesus meninggal di kayu salib. Dia disalibkan sama orang-orang yang Dia cintai. Dia meninggal, game over."
Gua terdiam mendengar kata-kata dia. Meskipun kata-kata dia tidak 100% sesuai dengan apa yang diajarkan agama, tapi gua bisa nangkep maksud dari perumpamaan yang mau dia katakan.
"So, Yesus aja bisa gagal, kalah, game over. Apalagi kita, yang cuma manusia?" kata sahabat gua itu lagi.
"Jadi, dari tadi lu ngomong muter-muter ke perusahaan game segala, intinya mau ngomong ini?" tanya gua.
"Ya. Lu putus sama pacar lu yang pertama dan sekarang putus sama Lina. Lu udah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetep gagal. That's fine. Yesus juga pernah. Semua manusia pernah gagal. Gagal dalam hidup itu adalah hal yang normal." kata sahabat gua itu lagi.
Gua mengangguk-angguk tanda setuju sambil termenung. Yesus, yang diumpamakan sebagai anak CEO perusahaan gamenya aja bisa game over di dalam game kehidupan ini. Gua, yang bukan siapa-siapa, wajar donk kalau gagal?
Belum selesai gua berpikir, sahabat gua tiba-tiba melanjutkan kisahnya
"Setelah meninggal, pada hari ketiga Yesus bangkit dari kematian. Adakah yang bisa lu pelajari dari kisah ini?"
"Bahwa setelah putus, gua harus nunggu minimal tiga hari, baru boleh pacaran lagi sama orang lain?'
"Bukan, bego" kata sahabat gua itu, sambil meninju lengan gua. "Kalo menurut gua, hikmah dari kisah ini adalah...bahwa di dunia ini gak ada yang abadi, gak ada yang tidak pernah berakhir. Waktu Yesus meninggal, para pengikutnya sedih dan berduka, tapi kemudian pada saat Yesus bangkit, mereka semua bersuka cita."
Gua terdiam mendengar kata-kata dia. Sahabat gua itu kemudian merangkul gua dan bilang begini :
"Gak ada yang abadi di dunia ini, begitu pula dengan kesedihan yang lu rasain sekarang. Suatu hari nanti, semuanya akan baik-baik saja. This too, will pass. Di balik sebuah akhir, selalu ada awal yang baru. Lu akan bisa bangkit lagi, tersenyum lagi, bahkan menjadi lebih kuat dan bijaksana daripada sebelumnya. Seperti Yesus, setelah dia respawn*"
(*istilah game Dota, untuk menggambarkan karakter kita yang bangkit dari kematian setelah durasi waktu tertentu)
![]() |
Adegan yang muncul di otak gua waktu denger sahabat gua bilang kata "respawn" |
Di luar dugaan, kata-kata terakhir dia itu berhasil bikin gua tersenyum. Melihat gua tersenyum, sahabat gua itu juga tersenyum, dan kemudian kita berdua tertawa kecil.
"Lu gila ya, Yesus disamain sama anak CEO perusahaan game," kata gua.
"Pake kena game over pula," kata dia tertawa.
"Pake respawn segala, lu pikir ini Dota?" kata gua.
"Untung gak ada yang denger, gua takut dirajam sama umat satu gereja," kata sahabat gua itu sambil cekikan.
Pembicaraan gak jelas hari itu, berakhir dengan gak jelas pula. Gak perlu ada kata-kata mutiara untuk mengakhiri percakapan kita hari itu. Tapi berkat pembicaraan gak jelas itu, somehow, gua mulai memahami makna dari perayaan Paskah.
Paskah is all about second chances. Tentang kerendahan hati untuk belajar dari kegagalan, tentang memaafkan diri sendiri dan juga orang yang pernah menyakiti kita, tentang pengharapan dan keteguhan hati di balik sebuah kekalahan, tentang sukacita di balik sebuah kepedihan. Tapi lebih dari itu, Paskah itu adalah tentang kemenangan. Kemenangan kita dari rasa sakit, kemenangan kita dari ego dan keangkuhan, kemenangan dari diri kita dan semua kegagalan di masa lalu.
Paskah juga selalu dirayakan di awal musim semi. Saat tanah yang sempat membeku dan mengering di musim dingin, mulai kembali menghijau. Di saat alam mulai tersenyum kembali dan bunga-bunga bermekaran di mana-mana. Di luar nilai-nilai agamis, Paskah juga adalah simbol kehidupan. Sebuah awal dari siklus kehidupan yang baru, ini adalah alasan mengapa di Eropa sana, telur dijadikan simbol perayaan Paskah.
Saat itu, rasa sedih, marah, dan kecewa di hati gua berangsur-angsur hilang. Malah saat itu rasanya gua ingin segera berlari dan bertemu Lina. Bukan karena ingin minta balikan sama dia, bukan, tapi karena gua ingin berterima kasih sama dia. Ternyata segala yang gua alami bersama dia, membuat gua akhirnya memahami makna dari perayaan Paskah yang selama ini tidak gua pahami.
Ternyata Tuhan itu adil. Pada setiap kali kita kehilangan sesuatu, pada saat itu pula kita mendapatkan sesuatu. Ada pelajaran di balik semua kehilangan dan kegagalan, cuma terkadang kita terlalu terpaku pada masa lalu sehingga tidak menyadari apa yang menanti kita di masa depan.
Hari itu, saat misa selesai dan gua beranjak pulang, sekilas mata gua terpaku pada tulisan yang terpampang di atas altar gereja Katedral Bandung.
"Marilah kepada-Ku, kamu yang lelah dan menanggung beban"
Rasanya waktu itu gua sedang ditegur sama Tuhan. Selama ini gua terlalu sibuk mengasihani diri sendiri, dan tidak menyadari, bahwa sebenarnya Tuhan tidak pernah memberikan beban yang melebihi kemampuan kita. Malah karena gua terlalu larut dalam kesedihan, gua sampai lupa berdoa minta kekuatan kepada Tuhan. Karena terlalu terfokus sama diri sendiri, gua sampai tidak menyadari bahwa tangan Tuhan sedang bekerja di dalam kehidupan gua.
Kawan, hidup kita itu seperti sebuah roda yang sedang berputar. Kadang kita berada di atas, kadang kita berada di bawah. Kadang kita berhasil, kadang kita gagal. Kadang kita bersukacita, kadang kita juga bersedih. Semua itu adalah proses pendewasaan diri yang harus kita lalui supaya kita bertambah kuat dan bijaksana.
Dan kalau pada suatu titik, kalian merasa bahwa beban yang kalian tanggung terlalu berat, jangan kalian tanggung semua itu sendiri. Berdoa minta peneguhan kepada Tuhan YME, atau minta dukungan dari sahabat-sahabat terdekat kalian. Ingat, kamu tidak pernah sendirian. Meskipun tidak sempurna, tetapi dirimu berharga di mata Tuhan YME dan orang-orang yang mengasihimu.
Everything that has a beginning, has an end. But in life, every ending is a new beginning.
Selamat Paskah bagi teman-teman yang merayakan.
Semoga damai dan sukacita selalu menyertai hidupmu, tidak peduli apapun agamamu.